Tuesday, November 23, 2010

BELAJAR DARI PENGAJARAN ORANGTUA

Kapanpun dan di manapun kita berada, hidup kita tak terlepas dari pembelajaran akan pengajaran yang diperoleh di masa lalu melalui pancaindera kita, secara sadar maupun di bawah sadar. Demikian kesimpulanku dalam renunganku beberapa bulan menjelang HUT-75-ku tanggal 29 Desember 2010 yad.

Akan kubagikan di sini khususnya pengajaran orangtuaku. Kumulai dengan pengajaran orangtua surgawiku, Bapaku di surga. Pada masa remajaku, ketika belajar Firman aku kebagian nas sidi: Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”  Sepertinya agak ironis rasanya kalau diingat belum setahun sebelumnya ayah meninggalkan kami dipanggil Tuhan. Tetapi rupanya inilah penghiburan-Nya bagi kami, yaitu supaya bersukacita selalu, d.p.l. bersyukurlah senantiasa. Diperkuat lagi ketika menerima pemberkatan nikah, nas bagi kami berdua adalah: Yohanes 15:4, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” Jadi: Mau berbuat, mau berbuah? . . . . Tinggallah dalam Kristus! . . . . Roh Kudus di dalam aku, Ia menuntun aku! . . . . Hasilnya buah roh! Puji Tuhan. Maka bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Tekunlah mendalami Firman-Nya.

Berikut dari orang tua kandungku, Albert Siregar dan Djawiah Nasution. Semasa kanak-kanak, sebelum pendudukan Jepang, bahasa pengantar di rumah dan TK adalah bahasa Belanda. Setelah itu ganti dengan bahasa Indonesia. Tiga tahun terakhir SD sampai tamat dan beberapa bulan pertama di sekolah menengah pertama kuikuti di sekolah berbahasa pengantar Belanda, masing-masing di Christelijke Lagere School (sekolah rendah) dan Christelijke Middelbare School (sekolah menengah), yang kemudian berubah menjadi SMP Nasrani di Medan setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu setiap kali aku tanya ayahku apa arti sesuatu istilah bahasa Belanda selalu di jawab: “Koenen . . . Koenen.” Maksudnya cari sendiri di kamus bahasa Belanda (susunan M.J. Koenen & J. Endepols,  “Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal”). Rupanya ia hendak mengajarkan aku untuk selalu coba mengerjakan sendiri terlebih dahulu sebelum meminta nasihat atau minta tolong orang lain.

Ayah meninggal dunia di usia relatif muda dalam usia 42 tahun, dua hari setelah membawa si bungsu kami ke gereja menerima baptisan kudus. Ketika itu aku yang sulung dari lima bersaudara masih kelas satu SMP.
Masih kuingat betul, di hari pertama ada kesempatan, kami anak-anaknya diajak oleh ibu ke kuburan ayah. Sebelum pulang ibu berdoa, “Bapa di surga, Engkaulah yang menjadi bapa anak-anakku, peliharalah kami bersama.”  Inilah kata-kata doa ibu yang sangat terkesan dan tertanam di sanubariku. Kami pulang dengan hati lega, percaya Tuhan akan jaga kami. Itulah peganganku seterusnya sampai hari ini. Terima kasih, Tuhan. Jawaban-Nya atau penegasan-Nya adalah nas sidi dan nas pamberkatan nikah tersebut di atas:

Bersukacitalah, bersukacitalah senantiasa,
senantiasa dalam Tuhan, bersukacitalah.
Tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam aku,
aku berbuah banyak, bersukacitalah dalam Tuhan.
(Fil 4:4; Yoh 15:4).

Ibuku tammatan sekolah guru, yaitu Kweekschool Salatiga. Seingatku di masa kanak-kanakku ia tidak lagi mengajar di sekolah. Setelah ayah meninggal ia mulai lagi mengajar. Tidak lama kemudian ia berhenti lalu mulai berdagang, yaitu berdagang batik. Dibelinya dari Pajak Ikan Lama di belakang Kesawan, Medan, lalu menjualnya secara mencicil dua atau tiga cicilan, mula-mula kepada kawan-kawannya. Demikian ia menekuninya sampai ia mempunyai kiosk sendiri di Pusat Pasar di Medan, sedangkan batiknya dibeli dan dipesan langsung dari langganannya di Pekalongan. Dengan usaha dagangnya ini ia bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan kami semua sampai tamat di perguruan tinggi. Bapa di surga adalah bapa kami!

Beberapa waktu yang lalu kutemukan pula fotocopy surat wasiat nenekku, Ompu ni Irwan, ibu dari ibuku, yang ditulistangan sendiri di atas kertas bermeterai Rp 25, meterai RI tahun 1976. Ternyata dalam wasiatnya tersebut nenek mewasiatkan bagaimana penerapannya supaya senantiasa bersukacita dalam Tuhan, yaitu: “Hamu sude dakdanakku na huhaholongi, au inangmunu Ompu ni Irwan madung dialap Tuhanta na basa i au tulambungna, porsaja do au dihata ni Tuhanta dilambung nia do au dihasonangan na di banua gindjang i, hata sipaingotku dihamu sude dakdanakku dibagasan dame na sian Tuhantai ma hamu tontong, sai marsihaholongan ma hamu, ulang adong dihamu parsalisian sanga aha, tontongma tiop hamu hata na sian Tuhanta i, sai marsihaholongan ma hamu, ima tandana siseanku hamu ninna Tuhanta do mandokkon hita, sisean ni Tuhanta do hita sude, . . .” (masih dengan ejaan lama!). Yaitu, tetaplah dalam damai Tuhan kita, saling mengasihi, hidup rukun tanpa ada perselisihan apapun, tetap berpegang pada Firman Tuhan, saling mengasihi tandanya kamu murid Tuhan, semua kita adalah murid Tuhan.

Jadi, sadar atau tidak sadar, pengajaran orang tuaku tersebut ternyata telah membentuk hidupku sedemikian rupa sehingga tidak merasa kekurangan apapun, senatiasa bersyukur apapun yang kuterima, termasuk menjadi semi-invalid karena strook, masih bisa melayani Tuhan dan sesama. Amen.

IMS 101122

No comments:

Post a Comment