Thursday, December 6, 2012

BAPAKU DI SORGA MENYERTAIKU



Kesaksian lisan dalam acara HUT-75 IMS tgl 29/12/10

BAPAKU DI SURGA MENYERTAIKU

(Fil 4:4-7; Yoh 15:4-5)
Kesaksian tertulis, dengan judul “Belajar dari Pengajaran Orangtua”, telah tercantum dalam buku acara. Berikut ini disampaikan secara lisan pengembangannya dan penerapannya yaitu aspek lainnya dalam hidup saya sehari-hari. Dalam kesaksian pertama disampaikan, bahwa apa adanya diriku tidaklah lepas dari bentukan pengajaran-pengajaran yang kuperoleh dari orangtuaku, baik orangtuaku kandung semasa hidup mereka maupun orangtua surgawiku sepanjang hidupku.
Tema utama kesaksian lisan ini adalah: Keyakinan bahwa Tuhan Allah adalah Bapaku di surga. Dalam hal ini,  aspek lain pengalaman hidup yang paling menonjol, selain dalam kesaksian tertulis “Belajar dari Pengajaran Orangtua”. Akan saya berikan sekarang secara singkat beberapa contoh pengalamanku akan penyertaan Tuhan dalam hidupku.
Pertama, yang sangat berkesan adalah pengalaman tersandera tanggal 28 Maret 1981, pukul 10.10 WIB, dalam perjalanan dari Jakarta ke Medan, di atas pesawat DC9 “Woyla” Garuda Indonesia. Yaitu tak kuatir, yakin Bapa di surga yang jaga aku. Segera setelah tersandera kunyanyikan dalam hati lagu “Tuhan Allah hadir dalam rumah ini”, dari Nyanyian Rohani no ?, lagu yang sering kami nyanyikan pada apel pagi ibadah singkat setiap hari Senin sebelum mulai pelajaran dalam kelas masing-masing, di SMA Nasrani di Jl Padangbulan (sekarang jl Kapt Patimura). Karena tak hapal teks lagu, mulai baris dua dst saya nyanyikan secara humming, kemudian segera ganti dengan kata-kata doa. Sebagai follow-up, tidak lama kemudian saya teringat suatu ayat firman Tuhan berbunyi “Jika Allah bersama kita siapa yang kita takutkan”, padahal bunyi yang sebenarnya, tertulis dalam Roma 8:31b, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” Ketika penyandera mengatakan pesawat akan diterbangkan ke Libia melalui Kairo, timbul pula keyakinanku, dan kudoakan, kalaulah ini perjalanan terakhir dalam hidupku bahwa Tuhan akan menjaga anak-istriku yang kutinggalkan. Sayapun merasa damai di hati dan tenang-tenang saja. Kemudian salah seorang dari penyandera, sambil menggenggam granat mondar mandir di gang di antara barisan penompang, bertanya kepada beberapa orang apa agamanya; semua menjawab “Islam”. Sayapun cemas apalah jawab saya nanti. Ternyata secara spontan saya menjawab yang sebenarnya, tanpa merasa khawatir sedikitpun.
Lama bertahun-tahun kemudian barulah saya sadari, setelah saya mulai paham akan pekerjaan Roh Kudus dalam diri setiap orang percaya, bahwa dorongan bernyanyi, teringat akan ayat firman, yakin akan pemeliharaan Allah terhadap keluarga yang ditinggal, serta berkata benar apa agama yang dianut, adalah karya Roh Kudus dalam diri saya. Yang saya dengar adalah suara Allah. Dan waktu itu saya mendengar dan mengindahkannya, artinya secara spontan mematuhinya, meyakininya, mempercayainya dan melakukannya, bukan hanya sekedar mendengarnya saja.
Ke dua adalah menerima ketidak sembuhan dari strook, yaitu tidak kecewa walau saya doakan berkali-kali pada awalnya. Sudah hampir 11 tahun sejak kejadian masih tetap bersemangat, tetap melakukan sendiri, walau dengan susah payah dan menjadi lambat, selalu cari akal bagaimana supaya berhasil, pantang menyerah (kecuali tentunya yang tak mungkin, yaitu apa yang harus dilakukan dengan tangan kiri, tak bisa dengan gigi atau kaki).
Dalam pada itu, sementara masih dirawat inap di RS Siloam, segera setelah saya boleh duduk masih di atas tempat tidur, saya terdorong untuk mengarang lagu. Bagaimana caranya sudah pernah saya baca dari beberapa buku yang saya beli dengan cara serupa. Maka kupraktekkanlah dengan bantuan laptop yang selalu saya bawa dalam kunjungan inspeksi ke pabrik-pabrik sebagai konsultan ketika terserang strook tersebut di Pakanbaru. Dalam laptop ada program menulis, memainkan, dan mecipta musik tanpa perlu memakai instrumen musik benaran. Hasilnya terciptalah lagu berdasarkan nas Mazmur 128 “Berkat atas rumah tangga”. Lagu ini satu-satunya yang pernah saya cipta sendiri, sejak 11 tahun lalu.
Ke tiga, pengalaman hidup lainnya, selama masih aktif sebelum pensiun: tak kejar pangkat atau jabatan. Mulai sebagai Staf Bagian Teknologi, lalu Kepala Bagian Teknologi, setingkat di bawah Direksi, kemudian Inspektur Teknik/Teknologi, sedikit di atas Kabag. Pernah di-imingi jabatan Direktur, namun saya tolak saran supaya beri upeti. Sebaliknya juga saya tolak timbun kekayaan melalui upeti suap.
Ke empat tak khawatir finansial biaya hidup, tak perlu kejar suapan, merasa cukup dengan apa yang ada, tak ambil peluang sambung masa aktif sebagai tenaga honorer setahun-setahun, dll. Setahun sebelum pensiun, setelah merenungnya, berketetapan akan lanjut memulai masa pensiun dengan apa yang ada, yaitu mengolah dan mengelola sebidang tanah ladang. Tetapi ternyata langsung pula ada tawaran jadi konsultan. Dalam hal ini saya tak konsekuen, karena ini sama saja terima peluang perpanjang pensiun, sebab masih bidang serupa dengan apa yang saya geluti semasa aktif. Mungkin ketidak konsekuenan inilah, dengan perkataan lain tanpa pertimbangan secara iman, bahwa usaha ladang secara full time akan sama atau bahkan lebih hasilnya, berakibat kena strook! Pengelolaan ladang pun akibatnya kurang waktu alias terlantar, dan setelah strook pun payah ke ladang!
Terakhir, walau sepertinya terkena hukuman dengan strook, sebaliknya terobati dengan apa yang ku dapat kemudian. Bapa di surga memang masih tetap memelihara kami. Setelah kena strook, peluang mendalami Firman pun semakin terbuka. Sehari setelah kembali berada di rumah, setelah sebulan dirawat inap di RS Gleneagles Siloam di Karawaci, Tangerang, saya masuk kamar kerja saya melintas di depan lemari buku. Terlihatlah sebuah buku yang judulnya segera menarik perhatianku. Kuambil, kubuka, ternyata isinya kumpulan bahan diskusi PA terbitan ...... Buku ini sudah lama saya beli dengan sisa uang jalan sewaktu melakukan perjalan dinas ke luar negeri, tetapi belum pernah sempat saya baca. Setelah saya baca beberapa bab pertama, saya terpikir untuk menterjemahkannya. Mula-mula untuk bacaan keluarga, lalu meluas menjadi untuk bacaan keluarga besarku pomparan Ompu ni Mastur, terakhir meningkat pula menjadi bacaan anggota Jemaat GKPI Medan Kota. Saya perlihatkan contoh terjemahannya dan buku aslinya kepada pendeta O. Pasaribu, yang segera menyetujuinya. Demikianlah setiap minggu terbit satu bab dan dibagikan Minggu pagi di gereja. Seluruhnya selama hampir dua tahun. Kemudian lanjut dengan menterjemahkan bahan-bahan yang saya peroleh dari internet, terbitan Radio Bible Class. Karena lebih panjang, terbitnya setiap bulan atau satu setengah bulan. Terakhir meningkat lagi dengan terbitan buku penuntun PA, hasil olahan dari sejumlah buku-buku, yang saya peroleh dengan cara dan kesempatan sama seperti di atas.
Tersusunlah buku PA yang cetakan ke-3 nya setelah revisi ulang dibagikan tadi. Berisi prosedur ilmiah, yang berlaku universal untuk melakukan penelitian atau penelaahan tulisan-tulisan ilmiah. Yang terdiri dari tiga tahapan: 1) pengamatan = apa faktanya; 2) penafsiran = apa katanya; 3) penerapan = apa relevansinyadalam hidupku sekarang = apa yg mau saya lakukan segera/skarang. Suatu prosedur universal = bisa diterapkan pd pengajian/pendalaman Kitab Suci lain, buku-buku tuntunan hidup dll.

PENGAJARAN ORANGTUA



BELAJAR DARI PENGAJARAN ORANGTUA

Akan kubagikan di sini khususnya pengajaran orangtuaku. Kumulai dengan pengajaran orangtua surgawiku, Bapaku di surga. Pada masa remajaku, ketika belajar Firman aku kebagian nas sidi: Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”  Sepertinya agak ironis rasanya kalau diingat belum setahun sebelumnya ayah meninggalkan kami dipanggil Tuhan. Tetapi rupanya inilah penghiburan-Nya bagi kami, yaitu supaya bersukacita selalu, d.p.l. bersyukurlah senantiasa. Diperkuat lagi ketika menerima pemberkatan nikah, nas bagi kami berdua adalah: Yohanes 15:4, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” Jadi: Mau berbuat, mau berbuah? . . . . Tinggallah dalam Kristus! . . . . Roh Kudus di dalam aku, Ia menuntun aku! . . . . Hasilnya buah roh! Puji Tuhan. Maka bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Tekunlah mendalami Firman-Nya.
Berikut dari orang tua kandungku, Albert Siregar dan Djawiah Nasution. Semasa kanak-kanak, sebelum pendudukan Jepang, bahasa pengantar di rumah dan TK adalah bahasa Belanda. Setelah itu ganti dengan bahasa Indonesia. Tiga tahun terakhir SD sampai tamat dan beberapa bulan pertama di sekolah menengah pertama kuikuti di sekolah berbahasa pengantar Belanda, masing-masing di Christelijke Lagere School (sekolah rendah) dan Christelijke Middelbare School (sekolah menengah), yang kemudian berubah masing-masing menjadi SD dan SMP Nasrani di Medan setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu setiap kali aku tanya ayahku apa arti sesuatu istilah bahasa Belanda selalu di jawab: “Koenen . . . Koenen.” Maksudnya cari sendiri di kamus bahasa Belanda (susunan M.J. Koenen & J. Endepols,  “Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal”). Rupanya ia hendak mengajarkan aku untuk selalu coba mengerjakan sendiri terlebih dahulu sebelum meminta nasihat atau minta tolong orang lain.
Ayah meninggal dunia di usia relatif muda dalam usia 42 tahun, dua hari setelah membawa si bungsu kami ke gereja menerima baptisan kudus. Ketika itu aku yang sulung dari lima bersaudara masih kelas satu SMP.
Masih kuingat betul, di hari pertama ada kesempatan, kami anak-anaknya diajak oleh ibu ke kuburan ayah. Sebelum pulang ibu berdoa, “Bapa di surga, Engkaulah yang menjadi bapa anak-anakku, peliharalah kami bersama.”  Inilah kata-kata doa ibu yang sangat terkesan dan tertanam di sanubariku. Kami pulang dengan hati lega, percaya Tuhan akan jaga kami. Itulah peganganku seterusnya sampai hari ini. Terima kasih, Tuhan. Jawaban-Nya atau penegasan-Nya adalah nas sidi dan nas pamberkatan nikah tersebut di atas:
Bersukacitalah, bersukacitalah senantiasa,
senantiasa dalam Tuhan, bersukacitalah.
Tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam aku,
aku berbuah banyak, bersukacitalah dalam Tuhan.
(saduran Fil 4:4; Yoh 15:4).
Ibuku tammatan sekolah guru, yaitu Kweekschool Salatiga. Seingatku di masa kanak-kanakku ia tidak lagi mengajar di sekolah. Setelah ayah meninggal ia mulai lagi mengajar. Tidak lama kemudian ia berhenti lalu mulai berdagang, yaitu berdagang batik. Dibelinya dari Pajak Ikan
Lama di belakang Kesawan, Medan, lalu menjualnya secara mencicil dua atau tiga cicilan, mula-mula kepada kawan-kawannya. Demikian ia menekuninya sampai ia mempunyai kiosk sendiri di Pusat Pasar di Medan, sedangkan batiknya dibeli dan dipesan langsung dari langganannya di Pekalongan. Dengan usaha dagangnya ini ia bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan kami semua sampai tamat di perguruan tinggi. Demikianlah ketekunannya sebagai orangtua tunggal memelihara dan membina keluarganya. Bapa di surga adalah bapa kami!
Beberapa waktu yang lalu kutemukan pula fotocopy surat wasiat nenekku, Ompu ni Irwan, ibu dari ibuku, yang ditulistangan sendiri di atas kertas bermeterai Rp 25, meterai RI tahun 1976. Ternyata dalam wasiatnya tersebut nenek mewasiatkan bagaimana penerapannya supaya senantiasa bersukacita dalam Tuhan, yaitu: “Hamu sude dakdanakku na huhaholongi, au inangmunu Ompu ni Irwan madung dialap Tuhanta na basa i au tulambungna, porsaja do au dihata ni Tuhanta dilambung nia do au dihasonangan na di banua gindjang i, hata sipaingotku dihamu sude dakdanakku dibagasan dame na sian Tuhantai ma hamu tontong, sai marsihaholongan ma hamu, ulang adong dihamu parsalisian sanga aha, tontongma tiop hamu hata na sian Tuhanta i, sai marsihaholongan ma hamu, ima tandana siseanku hamu ninna Tuhanta do mandokkon hita, sisean ni Tuhanta do hita sude, . . .” (masih dengan ejaan lama!). Yaitu, tetaplah dalam damai Tuhan kita, saling mengasihi, hidup rukun tanpa ada perselisihan apapun, tetap berpegang pada Firman Tuhan, saling mengasihi tandanya kamu murid Tuhan, semua kita adalah murid Tuhan.
Jadi, sadar atau tidak sadar, pengajaran orang tuaku tersebut ternyata telah membentuk hidupku sedemikian rupa sehingga tidak merasa kekurangan apapun, senatiasa bersyukur apapun yang kuterima, termasuk menjadi semi-invalid karena strook, masih bisa melayani Tuhan dan sesama. Amen.
IMS 101122