BELAJAR DARI PENGAJARAN ORANGTUA
Kapanpun dan di
manapun kita berada, hidup kita tak terlepas dari pembelajaran akan pengajaran
yang diperoleh di masa lalu melalui pancaindera kita, secara sadar maupun di
bawah sadar. Demikian kesimpulanku dalam renunganku beberapa bulan menjelang
HUT-75-ku tanggal 29 Desember 2010 yad.
Akan kubagikan di sini
khususnya pengajaran orangtuaku. Kumulai dengan pengajaran orangtua surgawiku,
Bapaku di surga. Pada masa remajaku, ketika belajar Firman aku kebagian nas sidi:
Filipi 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan:
Bersukacitalah!” Sepertinya agak ironis rasanya kalau diingat belum
setahun sebelumnya ayah meninggalkan kami dipanggil Tuhan. Tetapi rupanya
inilah penghiburan-Nya bagi kami, yaitu supaya bersukacita selalu, d.p.l.
bersyukurlah senantiasa. Diperkuat lagi ketika menerima pemberkatan nikah, nas
bagi kami berdua adalah: Yohanes 15:4, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di
dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri,
kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah,
jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” Jadi: Mau berbuat, mau
berbuah? . . . . Tinggallah dalam Kristus! . . . . Roh Kudus di dalam aku, Ia
menuntun aku! . . . . Hasilnya buah roh! Puji Tuhan. Maka
bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Tekunlah mendalami Firman-Nya.
Berikut dari orang tua
kandungku, Albert Siregar dan Djawiah Nasution. Semasa kanak-kanak, sebelum
pendudukan Jepang, bahasa pengantar di rumah dan TK adalah bahasa Belanda.
Setelah itu ganti dengan bahasa Indonesia. Tiga tahun terakhir SD sampai tamat
dan beberapa bulan pertama di sekolah menengah pertama kuikuti di sekolah
berbahasa pengantar Belanda, masing-masing di Christelijke Lagere School
(sekolah rendah) dan Christelijke Middelbare School (sekolah menengah), yang
kemudian berubah masing-masing menjadi SD dan SMP Nasrani di Medan setelah
pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu setiap kali aku
tanya ayahku apa arti sesuatu istilah bahasa Belanda selalu di jawab: “Koenen .
. . Koenen.” Maksudnya cari sendiri di kamus bahasa Belanda (susunan M.J.
Koenen & J. Endepols, “Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse
Taal”). Rupanya ia hendak mengajarkan aku untuk selalu coba mengerjakan sendiri
terlebih dahulu sebelum meminta nasihat atau minta tolong orang lain.
Ayah meninggal dunia
di usia relatif muda dalam usia 42 tahun, dua hari setelah membawa si bungsu
kami ke gereja menerima baptisan kudus. Ketika itu aku yang sulung dari lima
bersaudara masih kelas satu SMP.
Masih kuingat betul,
di hari pertama ada kesempatan, kami anak-anaknya diajak oleh ibu ke kuburan
ayah. Sebelum pulang ibu berdoa, “Bapa di surga, Engkaulah yang menjadi
bapa anak-anakku, peliharalah kami bersama.” Inilah kata-kata doa ibu yang sangat terkesan
dan tertanam di sanubariku. Kami pulang dengan hati lega, percaya Tuhan akan
jaga kami. Itulah peganganku seterusnya sampai hari ini. Terima kasih, Tuhan.
Jawaban-Nya atau penegasan-Nya adalah nas sidi dan nas pamberkatan nikah
tersebut di atas:
Bersukacitalah, bersukacitalah senantiasa,
senantiasa dalam Tuhan, bersukacitalah.
Tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam aku,
aku berbuah banyak, bersukacitalah dalam Tuhan.
(saduran Fil 4:4; Yoh 15:4).
senantiasa dalam Tuhan, bersukacitalah.
Tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam aku,
aku berbuah banyak, bersukacitalah dalam Tuhan.
(saduran Fil 4:4; Yoh 15:4).
Ibuku tammatan sekolah
guru, yaitu Kweekschool Salatiga. Seingatku di masa kanak-kanakku ia tidak
lagi mengajar di sekolah. Setelah ayah meninggal ia mulai lagi mengajar. Tidak
lama kemudian ia berhenti lalu mulai berdagang, yaitu berdagang batik.
Dibelinya dari Pajak Ikan
Lama di belakang
Kesawan, Medan, lalu menjualnya secara mencicil dua atau tiga cicilan,
mula-mula kepada kawan-kawannya. Demikian ia menekuninya sampai ia mempunyai
kiosk sendiri di Pusat Pasar di Medan, sedangkan batiknya dibeli dan dipesan
langsung dari langganannya di Pekalongan. Dengan usaha dagangnya ini ia
bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan kami semua sampai tamat di perguruan
tinggi. Demikianlah ketekunannya sebagai orangtua tunggal memelihara dan
membina keluarganya. Bapa di surga adalah bapa kami!
Beberapa waktu yang
lalu kutemukan pula fotocopy surat wasiat nenekku, Ompu ni Irwan, ibu dari
ibuku, yang ditulistangan sendiri di atas kertas bermeterai Rp 25, meterai RI
tahun 1976. Ternyata dalam wasiatnya tersebut nenek mewasiatkan bagaimana
penerapannya supaya senantiasa bersukacita dalam Tuhan, yaitu: “Hamu sude
dakdanakku na huhaholongi, au inangmunu Ompu ni Irwan madung dialap
Tuhanta na basa i au tulambungna, porsaja do au dihata ni Tuhanta dilambung nia
do au dihasonangan na di banua gindjang i, hata sipaingotku dihamu sude
dakdanakku dibagasan dame na sian Tuhantai ma hamu tontong, sai marsihaholongan
ma hamu, ulang adong dihamu parsalisian sanga aha, tontongma tiop hamu hata na
sian Tuhanta i, sai marsihaholongan ma hamu, ima tandana siseanku hamu
ninna Tuhanta do mandokkon hita, sisean ni Tuhanta do hita sude, . . .”
(masih dengan ejaan lama!). Yaitu, tetaplah dalam damai Tuhan kita, saling
mengasihi, hidup rukun tanpa ada perselisihan apapun, tetap berpegang pada
Firman Tuhan, saling mengasihi tandanya kamu murid Tuhan, semua kita adalah
murid Tuhan.
Jadi, sadar atau tidak sadar, pengajaran orang tuaku
tersebut ternyata telah membentuk hidupku sedemikian rupa sehingga tidak merasa
kekurangan apapun, senatiasa bersyukur apapun yang kuterima, termasuk menjadi
semi-invalid karena strook, masih bisa melayani Tuhan dan sesama.
Amen.
IMS 101122
No comments:
Post a Comment