Thursday, January 21, 2010

HIDUP SEMI-INVALID AKIBAT STROOK

Tanggal 20 Januari 2010 adalah HUT ke-10 saya mendapat serangan strook. Waktu itu saya sedang bertugas di Pekanbaru dalam kapasitas saya sebagai konsultan ahli pabrik sawit di PTPN-5. Setelah pensiun tahun 1991 dari PTPN-4 saya masih dipercayai sebagai konsultan di beberapa PTPN dan perusahaan swasta di Sumatra dan Jawa. Sejak pensiun saya kembali bertempat tinggal di Medan; sebelumnya l.k. 22 tahun di kebun Bah Jambi, karena kantor Direksi pindah ke sana.

Keberadaan saya di Pekanbaru waktu itu adalah singgah dalam perjalanan Bandung – Medan karena perlu menyerahkan laporan konsultansi saya hasil pemeriksaan saya bulan sebelumnya ke pabrik-pabrik PTPN-5. Bersama istri kami menghabiskan liburan Natal – Tahun Baru bersama anak-anak di Bandung. Saya sendiri selesai tugas langsung ke Bandung, sedangkan istri menyusul dari Medan. Pulangnya saya sendiri lewat Pekanbaru, sedangkan istri masih tinggal di Jakarta untuk pemeriksaan medis di RS Siloam Karawaci, tempat tugas adik bungsu saya sebagai spesialis penyakit dalam, dokter ahli penyakit ginjal & hipertensi.

Kejadiannya adalah pada sore hari saya akan pulang ke Medan. Saya menginap di Mess PTPN-5, menempati ruang tidur utama yang luas menyatu dengan kamar mandi. Karena AC lagi bekerja, semua jendela ditutup. Di luar terlihat seorang pekerja sedang membersihkan menata tanaman halaman. Menjelang jam 4 sore saya mandi bersiap mau berangkat pulang. Mobil yang akan mengantar saya ke bandara sudah stand-by.

Selesai mandi, melap badan, menyisir rambut, yang sudah sangat menipis, lalu mengenakan kembali pakaian dalam, saya keluar lalu berbalik menutup kembali pintu. Terasa kaki kiri cepat melemah, apa gerangan yang terjadi pikir saya. Segera saya comba langkahkan beberapa langkah, masih sempat mencapai tempat tidur lalu duduk dipinggirnya. Segera saya kenakan celana panjang yang tadi saya letakkan di atas tempat tidur, sebelum saya akan meminta tolong; maksudnya supaya nanti orang tak mendapati saya lagi separuh telanjang.

Tapi gagal, karena kaki kiri tak dapat saya masukkan ke dalam celana. Dalam pada itu karena gerak usaha saya tersebut, sedangkan oversprei tempat tidur licin, sayapun tergelincir dari pinggir tempat tidur lalu terduduk di lantai. Tapi segera saya tertarik rebah ke lantai, mau saya lawan tak berhasil. Khawatir saya mendapat serangan jantung saya tak berani berupaya bangkit. Dalam keadaan masih tergolek sayapun berteriak minta tolong. Tapi rupanya suara saya tak tembus ke luar ruangan alias tak terdengar, karena ruangan tertutup rapat. Namun saya tak menjadi panik. Perlahan sedikiit demi sedikit saya coba beringsut menuju pintu kamar mencoba mebukanya. Tapi kaki saya ternyata tak sampai untuk menarik gagang pintu. Lalu badan saya geser lebih mendekat pintu menggapai sandal yang terletak dekatnya, lalu saya pukulkan ke pintu berkali-kali sambil berteriak. Beruntung kali ini Mandur Mess mendengarnya, lalu datang membuka pintu (untung tak saya kuncikan tadi . . . !).

Sayapun segera ditolong, diangkatnya ke tempat tidur dan dibantunya mengenakan pakaian luar saya. Iapun segera menilpon kantor PTPN-5 dan mendapat instruksi supaya segera mengantar saya ke Rumah Sakit dengan mobil yang sudah stand-by dari tadi itu. Rumah Sakit ini (lupa saya namanya) adalah yang terbaru dan besar di Pekanbaru milik swasta. Lebih kurang sekitar setengah jam setelah kejadian saya sudah berada di RS. Selagi masih di mobil saya serahkan buku notes saya, berisi nomor telpon adik saya di Jakarta, kepada Pak Mandur Mess, mana tahu nanti dibutuhkan.

Setelah pemeriksaan pendahuluan saya pun langsung dibawa ke ruang foto untuk scanning otak. Di Jakarta setelah menerima kabar, keluarga termasuk adik saya di RS Siloam sepakat meminta supaya saya dipindahkan ke RS Siloam. Pertimbangannya a.l. saya tak punya keluarga di Pekanbaru, fasilitas di RS Siloam cukup lengkap, dan penanganan perawatan di rumah sakit butuh waktu cukup lama. Keesokan harinya baru siang hari saya, dengan berbaring di atas tandu, dapat diterbangkan ke Jakarta dengan didampingi seorang dokter.

Pada malam kejadian itu, sekitar jam delapan, kondisi tangan dan kaki saya telah kembali pulih, namun saya tetap berbaring di tempat tidur. Dalam pada itu saya heran pula tidak ada dokter menangani saya. Tidak ada sesuatu injeksi ataupun infus. Artinya tidak ada tindakan apapun sebagai follow-up penangan setelah scanning sore tadi. Sayapun tidak diberi bantuan oksigen, selain perawat menanyakan apakah saya sesak napas. Barulah jam setengah satu malam datang dokter ahli saraf memeriksa saya, sepertinya ia satu-satunya dokter spesialis saraf di Pekanbaru. Melihat saya sudah pulih, ia hanya menganjurkan besok ke Jakarta siang hari saja supaya paginya bisa istirahat cukup sebelum berangkat. Tetapi menjelang subuh tangan dan kaki saya kembali kaku seperti semula, begitu juga bagian dalam mulut sebelah kiri, strook kembali kambuh. Demikianlah menjadi permanen tak pulih kembali.

Setelah mengalami serangan strook itu barulah saya tau, bahwa gejala-gejala atau peringatan awal sudah ada sebelumnya, bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya. Misalnya berkali-kali saya alami sebelah mata tiba-tiba berkunang dan kabur penglihatan, tetapi hanya sebentar saja. Setahun belakangan, pernah beberapa kali tiba-tiba saya merasa oyong ketika bangkit berdiri, turun dari mobil, ataupun ketika sedang jalan, atau ketika bangkit dari tempat tidur sampai-sampai saya harus duduk dulu di pinggir tempat tidur sebelum saya merasa tenang. Semua itu hanya berlangsung beberapa menit ataupun kurang dari satu jam, lalu pulih lagi. Satu kali tidak lama setelah tiba di mess di Batam tiba-tiba di bagian belakang kepala terasa sangat sakit. Sayapun berbaring di tempat tidur dan minta anggota tim saya mencari obat; besoknya saya ke dokter tapi keadaan sudah mulai pulih. Karena hanya sebentar, maka tidak saya hiraukan lagi seperti yang lainnya juga dan tidak konsultasi ke dokter ahli. Itulah salah saya, tapi karena tak tau.

Serangan strook yang berakibat separuh badan menjadi lumpuh, sebelah kiri atau kanan, adalah karena kerusakan sel-sel otak sebelah kanan atau kiri. pemicunya bisa karena penyumbatan, seperti yang saya alami, atau karena pendarahan. Penyebabnya bisa sakit darah tinggi, diabetes, atau yang lain. Keduanya, penyumbatan atau pendarahan, menyebabkan bagian sel-sel otak yang terkena mengalami hambatan pasokan oksigen. Akibatnya sel-sel otak yang bersangkutan bisa pingsan atau setengah pingsan saja, atau sama sekali mati. Maka sebelum mati, dalam waktu kurang dari 2-3 jam, scanning tersebut harus dilakukan supaya segera sempat mengambil tindakan pemulihan, misalnya menginjeksikan obat pengencer darah untuk memperlancar kembali aliran darah, kalau penyebabnya adalah penyumbatan. Parahnya, sel otak yang mati tak tergantikan lagi. Sekali mati, yah, mati terus. Lalu bagian tubuh yang dikendalikan oleh sel otak tersebut menanggung akibatnya, menjadi tak berfungsi.

Memang sel-sel otak di sekitarnya, yang punya fungsi lain, akan coba mengambil alih, tapi tidak sepenuh sel semula. Untuk meningkatkan kinerja sel-sel penolong tersebut diperlukan latihan otot-otot bersangkutan dengan fisio terapi. Tapi seperti yang saya alami makan waktu lama, dan semakin lambat terasa pemulihannya. Demikian pula dengan terapi lainnya oleh beberapa dukun pijat yang katanya berhasil dengan orang lain. Sayapun menjadi malas ikut fisio terapi atau terapi apapun, hanya buang waktu saja. Untuk menjaga kebugaran dan kelenturan kaki kiri, saya sport jalan kaki di pagi hari selagi jalan masih sepi, 60 menit sehari. Tapi itupun angin-anginan pula! Padahal katanya gerak badan membantu menjaga konsistensi darah tetap encer.

Apa lagi dengan hanya tangan kanan dan kaki kanan saja masih bisa mengerjakan segala sesuatu dengan cukup memuaskan tanpa bantuan tangan dan kaki kiri. Dari sononya saya memang bukan kidal. Hanya kalau pakai baju berlengan panjang, untuk mengancingnya atau membukanya saya perlu dibantu istri atau siapapun berada di dekat saya. Selebihnya dapat saya kerjakan sendiri, termasuk hobi saya mengemudi mobil, walaupun berpersneling manual. Dalam hal ini kaki kiri saya harus tetap siap sedia di atas pedal kiri. Mau ke Parapat, Balige, Tarutung, atau ke Berastasgi, Kabanjahe, apalagi hanya sampai Binjei, dan di tempat ramai di dalam kota tak masalah. Kini mobil telah kami ganti dengan yang otomatik, karena sudah berumur lebih 10 tahun dan agak sering masuk bengkel. Ke semua jalur tujuan perjalanan itu mobil dapat saya kemudikan sendiri, baik siang maupun malam atau di bawah guyuran hujan lebat sekalipun.

Yang menjadi masalah, yang belum teratasi sampai sekarang adalah mudah menjadi gamang, dengan akibat otot-otot menjadi kaku, yang disebut spastik. Gamang adalah disulut oleh percaya diri yang berkurang atau hilang. Misalnya ketika mau turun tangga tanpa ada pegangan, atau turun dengan eskalator, melihat kedalaman yang akan dituju, kalau-kalau nanti jatuh terpelanting sampai ke bawah sana, saya pun menjadi takut. Begitu pula kalau emosi marah, ataupun terkejut, akan spastik juga. Kalau sedang berjalan di tempat umum merasa menjadi tontonan orang, padahal orangpun pada umumnya tak ada perhatian, spastik pun timbul, lalu jalan saya tersendat-sendat karena kaki kiri lagi kaku. Idem kalau ada orang lain, yang tak saya kenal, tiba-tiba mau berbaik hati membantu menuntun saya (takut bakal menjadi perhatian orang!).

Masih ada lagi keterbatasan-keterbatasan lain. Tapi syukur saya masih bisa tetap semangat. Kapanpun, di manapun, saya berusaha mandiri dan produktif. Kuncinya adalah harus dapat menerima keadaan, tidak menyesalkannya. Tapi tetap bersyukur. Masih diberi kesempatan melayani Tuhan dan sesama, sekecil apapun itu.

Satu hal yang saya pikir turut berperan saya cepat bisa menerima keadaan, ketika di rawat di RS Siloam, selain karena didampingi istri dan anak saya yang kebetulan lagi cuti, sikap para dokter dan perawat yang ramah dan penuh perhatian, kunjungan pelayanan rohani sekali seminggu dari jemaat setempat, mendengarkan lagu-lagu rohani dari radio dan kaset setiap waktu. Setelah lebih kurang seminggu saya sudah bisa duduk di atas tempat tidur, sudah mulai bisa berjalan, tak perlu pakai kursi roda lagi, sangat membantu meningkatkan optimisme saya. Walaupun dengan sebelah tangan saja, saya dapat melakukan berbagai kegiatan dengan labtop saya di atas tempat tidur; labtop diletakkan di atas meja makan pasien di atas tempat tidur. Walaupun mengetik yang sebelumnya dengan 10 jari, sekarang dengan 5 jari tak kalah cepat.

Dalam keadaan demikian, saya berhasil mencipta satu lagu, lengkap dengan aransemen paduan suara, dengan bantuan softwear musik di labtop saya, jadi bukan dengan alat musik betulan. Satu hal yang sudah lama mau saya lakukan, tapi tak pernah jadi. Beberapa buku musik yang berkenaan dengan itu sudah saya baca dan pelajari. Syair lagu hampir sepenuhnya saya kutip dari Mazmur 128: “Berkat atas Rumah Tangga,”

Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan,
yang hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya.
Berbahagialah dan baik keadaanmu,
apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu.
Istrimu menjadi s’perti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu,
Anak-anakmu s’perti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu.
Sedemikianlah akan diberkati orang yang takut akan Tuhan
Kebahagiaan, umur panjang, melihat anak-anak dari anakmu.
Damai sejahtera atas kamu!

Satu hal yang juga sangat membantu, saya pikir, dan sangat saya syukuri, adalah keterlibatan saya dalam pelayanan rohani di jemaat kami GKPI Medan Kota. Praktis dimulai sejak saya keluar rumah sakit dan pulang ke Medan saya jadi terlibat dalam kegiatan PA, sedangkan dalam paduan suara gereja, sebagai anggota ataupun dirigen sudah sejak sebelumnya. Sampai sekarangpun masih aktif.

Hari pertama saya kembali di rumah, saya masuk ke ruang kerja saya, karena kangen. Lewat di depan lemari buku terlihat judul satu buku yang langsung menarik perhatian saya waktu itu, karangan Bill Bright, “Handbook for CHRISTIAN MATURITY” A practical, easy to follow guide to the exciting adventure of joyful Christian living, Campus Crusade for Christ International (1982), buku yang sudah lama saya beli tapi belum pernah saya baca. Saya cermati daftar isi, kemudian mulai saya baca. Ternyata berisi bahan-bahan PA. Setelah membaca beberapa judul, timbul niat menterjemahkannya untuk dibagikan kepada keluarga saya, istri dan anak-anak. Membaca lebih lanjut terpikir pula untuk membagikan terjemahannya kepada keluarga saya lebih luas, yaitu keturunan kakek saya Ompu Ni Mastur. Demikian saya baca terus lalu saya putuskan agar menterjemahkannya termasuk untuk anggota jemaat saya. Lalu saya perlihatkan buku tersebut kepada Pendeta Resort kami, Pdt O. Pasaribu MTh, yang segera menyetujuinya setelah berkesempatan membacanya sehari. Demikianlah berangsur-angsur saya terjemahkan judul demi judul dan saya bagikan satu judul setiap hari Minggu sebanyak 1000 copy; anggota jemaat waktu itu ada 600 KK. Kalaupun hanya 10% yang betul-betul membaca dan mempelajarinya saya sudah akan merasa puas. Kenyataannya setiap kali habis terbagi dan dibawa pulang. Demikianlah seluruhnya selesai dalam waktu hampir 2 tahun. Setelah itu saya terjemahkan artikel-artikel rohani yang saya download dari internet. Kali ini karena lebih tebal isinya saya bagikan berselang 2-3 minggu. Tapi kemudian terhenti sejak 5 tahun lalu.

Demikianlah, seperti saya kemukakan di atas, setelah sejumloah upaya-upaya pemulihan, baik fisio terapi maupun terapi pijat, yang disertai pula dengan doa, saya sudah dapat menerima keadaan apa adanya disertai  rasa penuh syukur. Sayapun menarik kesimpulan, mirip-mirip pernyatasan Rasul Paulus dalam 2 Korintus 12:7-10: “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Korintus 12:10).

No comments:

Post a Comment