Monday, November 23, 2009

TERBAJAK DALAM PESAWAT DC-9 "WOYLA"

Prolog

Mengikuti sermon-PA setahun terakhir, baik sebagai peserta maupun sebagai pemimpin sermon, saya beroleh kesan, bahwa pemahaman dan keyakinan sebagian peserta tentang perananan atau karya Roh Kudus dalam diri orang percaya umumnya masih rendah. Maka saya terdorong untuk memberikan kesaksian tentang pengalaman rohani saya dalam hal tersebut.

Pengalaman rohani dalam drama 60 jam pembajakan pesawat

Kejadiannya adalah lebih seperempat abad yang lalu, tepatnya tanggal 28 Maret 1981, pukul 10.10 WIB, dalam perjalanan dari Jakarta ke Medan, di atas pesawat DC9 “Woyla” Garuda Indonesia. Setelah baru saja tanda kenakan safety belt dipadamkan, setelah tinggal landas dari transit di bandara Talang Betutu, Palembang, suasana dalam pesawat menjadi begitu mencekam dan tegang, serta mencemaskan hati.

Seorang pria, dengan pistol di tangan diacungkan ke arah penumpang, berdiri di atas salah satu kursi baris paling depan, sambil meneriakkan: “Angkat tangan, jangan bergerak”. Lima orang teroris, kabarnya asal Kota Maksum, Medan, membajak pesawat yang saya tompangi tersebut dan segera berhasil menguasai pesawat. Tidak ada perlawanan dari awak pesawat maupun penumpang.

Di antara penumpang terdapat dua orang asing, dapat diyakini bahwa mereka berdua akan menjadi sandera berharga bagi posisi tawar menawar para pembajak dalam tuntutan mereka. Tetapi sewaktu berada di bandara Bangkok seorang berhasil lolos dari pintu kanan depan (dibiarkan terbuka karena AC tak jalan lagi) dan seorang lagi dari pintu darurat samping kanan di atas sayap. Saya sendiri duduk dekat pintu darurat samping kirinya, tetapi tak berani melompat ke luar dan tak tau juga caranya, selain hanya mampu membaca petunjuk pull yang tertulis di atas pintu.

Terdorong menyanyi

Demikianlah dalam suasana mencekam tersebut, masih pada permulaan pembajakan, tiba-tiba begitu saja timbul niat saya mau menyanyikan lagu “Tuhan Allah Hadir dalam Rumah ini” (Nyanyian Rohani no. ?), yang sering kami nyanyikan di SMA Nasrani, Medan, setiap kali kami berkumpul beribadah pada setiap Senin pagi sebelum memulai pelajaran. Kami dibariskan berdiri di lapangan terbuka di sudut pekarangan yang diapit berbentuk huruh L oleh dua baris ruang-ruang belajar (lantainya lk 1 m lebih tinggi dari permukaan lapangan). Tanpa pikir panjang, mempertimbangkan suasana mencekam di sekitar saya misalnya, spontan saja saya nyanyikanlah lagu tersebut dalam hati. Tetapi karena baris ke-2 dan seterusnya saya tak hapal teksnya, lalu saya ganti dengan kata-kata doa. Demikianlah saya nyanyikan berulang-ulang, bernyanyi sambil berdoa atau berdoa sambil bernyanyi.

Teringat ayat firman

Berselang waktu kemudian setelah puas bernyanyi tersebut tiba-tiba saya teringat pula akan suatu ayat firman yang berbunyi, “Jika Allah bersama kita siapa yang kita takutkan”, padahal aslinya berbunyi, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita (Rom 8:31)?” Maka sayapun tenang-tenang saja tak merasa khawatir.

Yakin akan pemeliharaan Allah

Tidak lama setelah pembajakan, salah seorang pembajak menyatakan, bahwa pesawat akan diterbangkan ke Libia, walaupun kenyataannya hanya sampai Bangkok. Dalam perundingan dengan pemerintah RI setelah berada di Bangkok mereka minta pesawat pengganti untuk menerbangkan mereka ke tujuan semula, bersama kawan-kawan mereka yang ditangkap pada peristiwa Cicendo, Bandung, yang akan dilepaskan dari penjara sebagai bagian dari tuntutan mereka. Membayangkan Libia sebagai negara pimpinan Kadafi berhaluan keras Islam, kemudian tiba-tiba muncul pula dalam pikiran saya, “Kalaupun ini adalah perjalanan terakhir dalam hidup saya, pasti Allah akan menjaga anak-istri yang saya tinggalkan.” Saya pun merasa damai di hati dan tenang-tenang saja.

Mengaku jujur apa agama yang dianut

Sekali-sekali salah seorang pembajak menanyakan beberapa penumpang yang dilewatinya ketika sedang mondar mandir di gang di antara barisan kursi penumpang, “Apa agamamu?” Semua menjawab, “Islam”. Sayapun menjadi khawatir, apalah jawab saya nanti, apakah yang sebenarnya atau berbohong. Sayapun berusaha menghindari tatapan matanya setiap kali dia lewat dari samping saya.

Akhirnya giliran saya tiba juga, ketika saya disuruh membersihkan lantai gang di depan pintu toilet depan yang menjadi becek. Saya melapnya secara berdiri menunduk membungkuk di pinggang, sambil tangan kiri menopang pada dinding toilet. Rupanya dari kejauhan kelihatan bahwa di jari tangan kiri saya masih melekat sebentuk cincin, yaitu cincin emas berkepala agak besar berinitial IM tempahan toko emas di Sipirok, pemberian nenek saya sewaktu mendoakan kami supaya segera dapat anak setelah menunggu lebih kurang tiga tahun menikah. Selesai ngepel saya pun dipanggil ke belakang untuk menyerahkannya, termasuk cincin kawin yang ada di jari tangan kanan, dan saya ditegor kenapa tak menyerahkannya tadi sewaktu digeledah. Saat itu saya pun ditanya apa agama saya. Ternyata spontan saja saya menjawab, “Kristen,” tanpa merasa khawatir sedikit pun.

Menjadi sadar akan tuntunan Roh Kudus

Lama bertahun-tahun kemudian barulah saya sadari, setelah saya mulai paham akan pekerjaan Roh Kudus dalam diri setiap orang percaya, bahwa dorongan bernyanyi, teringat akan ayat firman, yakin akan pemeliharaan Allah terhadap keluarga yang ditinggal, serta berkata benar apa agama yang dianut, adalah karya Roh Kudus dalam diri saya. Yang saya dengar adalah suara Allah. Dan waktu itu saya mendengar dan mengindahkannya, artinya secara spontan mematuhinya, meyakininya, mempercayainya dan melakukannya, bukan hanya sekedar mendengarnya saja.

Padahal waktu itu kehidupan rohani saya tidaklah dapat dikatakan saleh. Umur saya ketika itu lebih kurang 45 tahun pada saat-saat giatnya lebih sibuk menapak strata atas dalam kariere saya dari pada punya waktu untuk merngindahkan hal-hal rohani. Hanya saja masa pendidikan saya mulai SD sampai SMA memang saya lalui dalam sekolah Kristen, kecuali kelas satu SD pada masa pendudukan Jepang, karena tempat tinggal kami jauh dari sekolah Kristen, dan kelas empat SD sewaktu mengungsi ke Serbelawan, Simalungun, pada permulaan masa revolusi kemerdekaan.

Evaluasi penyertaan Tuhan

Menyimak kembali kejadian tersebut di atas, ternyata urutan dan timing pesan-pesan yang saya terima pun sepertinya adalah pengaturan Tuhan. Dimulai dengan nyanyian “Tuhan Allah Hadir dalam Rumah ini” yang segera kemudian saya modifikasi menjadi doa nyanyian saya berulang-ulang. Berdasarkan keyakinan yang timbul berkat doa nyanyian saya tersebut akan kehadiran Allah, lalu teringat akan satu ayat firman Allah, yang saya ingat bukan menurut bunyi aslinya, tetapi sekenanya saja sesuai situasi gawat saya waktu itu, yang menyatakan tak perlu takut kalau bersama Allah. Dilanjutkan dengan keyakinan akan pemeliharaan Tuhan bagi anak-istri yang ditinggalkan di rumah. Lalu giliran saya menjawab apa agama saya bukan pada permulaannya dia mulai bertanya, tetapi cukup lama kemudian setelah saya sudah mendapat keyakinan akan penyertaan Allah. Jadi, urutan pesan dan timing-nya betul-betul sempurna.

Epilog

Demikianlah sekilas kesaksian saya tentang satu pengalaman rohani akan peranan Roh Kudus dalam diri saya. Kiranya akan menggugah kita untuk belajar semakin peka mendengar suara-Nya, dengan terus menerus memelihara hubungan komunikasi yang akrab dalam persekutuan dengan Tuhan kita Yesus Kristus. Tekun bersaat teduh membaca, merenungkan, dan menghayati firman serta berdoa berdialog dengan Tuhan.

IMS-2009

(Kesaksian Iman dalam Kebaktian Penyegaran Iman GKPI Medan Kota tanggal 14/5/09)

No comments:

Post a Comment